Kesungguhan Sang Putra
(kisah, dimuat di Islamedia)
“Ya Allah..
Tlg lancarknlah sgala urusan ku..
Sm0ga slama 4 tahun aku kuliah ,, aku dapat melaksanakan sgala tata tertib nya dengan baik ya Allah ..
Amiiinn ...”
“Perjalanan panjang ..”
“Jadwal pagi ni.
Bangun pagi,
Siap" Tahajudan, Sholat Shubuh, Brangkt Ospek”
“Perjuangan demi Kesuksesan dimasa depan ..
Amiin.”
“SEBI is The Best !!!”
“SEBI is School Of Islamic Economics ..”
“Allahu Akbar !!!
Tegakkanlah Islam !!!”
Itulah kata-kata yang ditulis di akun Facebook-nya. Beberapa hari
terakhir ini aku sengaja mengikuti. Sepertinya curahan hati yang dalam,
penuh makna, menunjukkan suasana kesungguhan. Akupun yang membacanya
seakan terbawa emosi, seakan ikut larut pada suasana hatinya. Sebab
selama ini aku tahu persis, kondisi seorang Nurahman Saputra (Putra).
Ia anak muda seperti kebanyakan, setelah lulus SMU ingin melanjutkan ke
jenjang kuliah. Tetapi tidak dengan perjuangan untuk kebutuhan biaya
sekolahnya. Terutama Ibunya, yang hanya seorang Janda dengan dua anak
laki-lakinya. Ditinggalkan tanpa dinafkahi oleh Suaminya, ketika Putra
masih berumur sekitar 5 tahun. Sejak itu pula Ibunya harus bekerja,
membanting tulang sendirian, untuk keperluan hidup dan membesarkan kedua
anaknya.
Ibunya terhitung masih saudara dengan istriku, karena ia sepupuan dengan
Almarhum Bapak istriku. Tinggal mengontrak di dekat rumah. Ruangan
dengan dua petak itu, seakan menjadi tempat terindah bagi mereka
bertiga, menjadi tempat berteduh, bercengkerama, bahkan menemani tidur
malam mereka, setelah masing-masing lelah menjalani kesehariannya.
Ibunya hampir tiap hari meninggalkan rumah, berkeliling dari rumah ke
rumah, dari Saudara ke Saudara, bahkan kadang harus menginap karena
jauhnya perjalanan. Untuk menawarkan jasa refleksi atau rias
kecantikannya. Pijat refleksi, urut, lulur, atau potong rambut adalah
keahliannya. Alhamdulillah… masih ada skill, sehingga ada penghasilan.
Walaupun kadang-kadang tidak cukup untuk keperluan makan, uang
kontrakan, atau biaya sekolah kedua anaknya. Belum lagi kalau penyakit
asmanya kambuh, badannya menjadi lemas, lunglai, tak berdaya maka Ibunya
hanya bisa berdiam di rumah.
Untungnya kedua anaknya tidaklah manja. Putra misalnya, Ia pun
mempunyai keahlian yang sama dengan Ibunya, yaitu pijat refleksi. Untuk
menambah uang saku Ia sering menawarkan jasa refleksinya. Termasuk ke
aku, Ia sering memijat refleksi. Aku tahu…, ketika Ia mengirim SMS ke
HP Istri aku atau ke aku menawarkan refleksinya, artinya ia sedang ada
perlu biaya lebih. Baik untuk keperluan sekolah lainnya, atau ongkos
naik angkot ke sekolah. Atau untuk membeli pulsa, dari HP yang ia
peroleh dari hasil membantu pekerjaan di rumah Saudara yang lain, selama
liburan sekolah. Disaat anak sekolah yang lain menghabiskan liburannya
untuk bermain. Putra memilih bekerja, apa saja yang bisa dikerjakan,
maka tak segan Ia lakukan, pekerjaan rumah tangga sekalipun.
Adiknya Putra juga demikian, Fery, kelas 2 SMK, ke sekolah naik sepeda.
Untuk menghemat ongkos katanya. Karena sekolahnya siang, maka setiap
pagi Ia membantu-bantu dulu di rumahku. Entah itu menjemur, mencuci
motor, membersihkan tanaman, atau menyapu. Ia cukup senang punya uang
dari hasil keringatnya sendiri. Atau kadang-kadang Fery ikut menemani
anak-anakku bermain, ketika istriku juga sedang ada keperluan keluar
rumah. Dari uangnya itu, Fery juga memelihara ayam kampung. Yang
sekarang sudah beranak-pinak cukup banyak.
Awalnya setelah lulus SMK tahun ini, Putra bertekad bulat untuk bekerja.
Membantu perekonomian keluarganya, mencari tambahan uang, karena
memang Ibunya juga sudah berumur, badannya sudah tidak cukup kuat lagi
bekerja. Putra banyak mencari informasi lowongan pekerjaan. Tidak
sedikit lamaran pekerjaan Ia kirimkan. Pernah interview walaupun cukup
jauh tempatnya, ia jalani. Sayang keberuntungan belum berpihak,
sehingga tidak lolos diterima untuk bekerja.
Disela-sela memijat refleksi, aku menawarkan untuk kuliah beasiswa di
SEBI. Kebetulan ada seorang ikhwan disana yang aku kenal, menawarkan
program bea siswa dari salah satu Bank Pemerintah, untuk bersekolah di
kampus ini. Syaratnya adalah cukup ada rekomendasi dari kader, dan
tentunya dengan syarat akademik lainnya. Semula Putra tidak mau, ia
tetap ingin bekerja. Tetapi setelah aku yakinkan tentang perlunya
‘orang yang berpendidikan itu lebih mulia’ maka ia mau mencoba ikut
ujian seleksinya.
“Untuk biaya ujiannya… Mas bantu deh…” Demikian aku menyemangati Putra untuk ikut mencoba ujian seleksi.
Setelah melihat syarat-syaratnya di Internet, Putra
bersungguh-sungguhnya untuk mencoba, termasuk sering bertanya tentang
soal-soal yang nantinya kira-kira akan diujikan. Karena tahap ujiannya
cukup banyak. Psikotes, ujian tulis, tes baca qur’an, dan terakhir
wawancara. Untuk sementara beberapa panggilan interview ia tinggalkan,
karena memilih fokus untuk ikut ujian.
Ujian psikotes lulus, berikutnya ujian tulis. Pada saat ini, aku sempat
menghubungi rekan ikhwan yang ada di kampus itu. Rekanku mengatakan…
Alhamdulillah, nilainya tinggi, ia lolos. Berita ini aku sampaikan ke
Istri, lalu istri menyampaikan ke Ibunya, dia langsung bersujud syukur.
Tetapi aku berpesan, supaya jangan diberitahukan dulu ke Putra, karena
pengumuman resminya baru hari besoknya. Ibunya menangis gembira…
Tinggal menunuggu tes terakhir yaitu wawancara. Wawancara ini untuk
menentukan besarnya beasiswa, sebab tidak semuanya memperoleh beasiswa
100%, ada yang 75%, atau 50%, tergantung nanti dari hasil tes wawancara
dengan pihak user.
Ada pemberitahuan ke Putra, wawancara dengan salah satu Durektur Bank
Pemerintah penyedia beasiswa tersebut. Hatinya berdegub kencang. Tidak
menyangka harus berhadapan dengan seorang Direktur Bank. Sesuatu yang
belum pernah dialami sebelumnya, maka membuat hatinya berdegub kencang.
Hari-hari menunggu wawancara, Putra sering main ke rumahku. Aku
berpesan, bahwa saat wawancara nanti, usahakan tenang, rileks, jujur,
dan apa adanya saja. Ungkapkan juga bahwa, kalau Putra tidak dapat
beasiswa yang 100%, maka Ia memilih bekerja saja. Sebab, Ibunya juga
mewanti-wanti tidak akan sanggup menanggung sisa biaya kuliahnya, kalau
tidak ditanggung 100%.
Hasil wawancara, Putra lolos untuk yang memperoleh beasiswa 100%. Ia
termasuk dari 40 orang yang dapat beasiswa penuh. Maka…, dengan rasa
syukur Ia menyambut kenikmatan itu. Dan sejak itu Ia bertekad ingin
menjadi orang yang berpendidikan, yang ingin membahagiakan Ibunya.
Dan terakhir, sebelum mengikuti ospek di kampusnya kemarin. Putra
mengirim SMS ke HP istri saya, mohon izin, restu dari Istri dan Aku
untuk mulai kuliah besoknya. Karena program kuliahnya yang mengharuskan
menginap di asrama kampus, maka lama nanti tidak bertemu dengan kami.
Termasuk, karena juga harus mengelola keuangan di salah satu masjid yang
ada disekitar kampus. Dan dari mengelola keuangan masjid itu, maka
mendapat uang saku setiap bulannya.
Akupun memberi komentar di salah satu status di Facebook-nya…
“Bersungguh2lah Putra, Mas turut berdo’a… “
Dan dijawab oleh Putra,
“Terima kasih Mas, atas smua kebaikannya…”
Jakarta, 20 September 2011
Abu Fathi
COPAS dari Sumber yang bermanfaat : http://halik-amin.blogspot.com/2012/03/kesungguhan-sang-putra.html